Jati (Tectona grandis L.F) termasuk family Verbenaceae mempunyai banyak keunggulan dalam penggunaan kayunya. Namun dalam pembudidayaannya secara generatif jati (Tectona grandis L.F) memiliki kendala antara lain dikarenakan biji jati tergolong dalam benih dorman. Benih dikatakan dorman apabila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi tidak berkecambah walaupun diletakan pada keadaan secara umum dianggap telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan (Sutopo, 1985).
Faktor lain yang menjadi pembatas adalah presentase daya kecambah benih jati tergolong rendah yaitu antara 35-85 % (Khaerudin, 1994). Untuk alasan tersebut maka benih jati memerlukan perlakuan khusus untuk memecahkan dormansi atau sekurangkurangnya lama dormansi dapat dipersingkat. Permudaan tanaman jati secara vegetatif perlu diterapkan sebagai alternatif lain dalam pembudidayaan tanaman jati untuk mengurangi ketergantungan terhadap benih mengingat kebutuhan akan kayu jati yang memiliki nilai dekoratif lebih dan serba guna, dimanfaatkan antara lain untuk bangunan, vinir mewah, perkakas/mebel, tiang listrik, telepon, serta kegunaan lainnya.
1. Keadaan Botani
Jati (Tectona grandis L.F) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagai mekanisme pengendalian diri terhadap keadaan defisiensi air selama musim kemarau. Jati digolongkan dalam family Verbenacea. Daerah penyebaran tumbuhan ini meliputi India, Birma, Thailand, dan Vietnam. Di Indonesia tanaman ini tumbuh di pulau Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Bara (Sumbawa), Maluku dan Lampung. Nama daerah untuk kayu ini adalah Jahe, Jatos, Kulidawa (Jawa), Kianti, Dodolan. Jati tergolong jenis kayu berdaun lebar dengan bentuk batang umumnya bulat dan lurus dengan percabangan yang tinggi, warna kulit agak kelabu muda, agak tipis beralur memanjang agak dalam. Tinggi pohon dapat mencapai 45 m dengan panjang batang bebas cabang 15-20 m, diameternya mencapai 220 cm (Khaerudin, 1994).
Bentuk tajuk tidak beraturan, berbentuk kubah dan agak lebar. Tergolong dalam jenis intoleran yaitu dalam pertumbuhannya jati memerlukan cahaya penuh, tidak tahan terhadap naungan. Daun berukuran lebar dan sedikit berbulu (Atmosuseno, 1995). Tanaman jati berbunga antara bulan Oktober – Juni kemudian buah masak pada bulan Juli – Desember. Dalam tiap kg biji kering mengandung 1.500 butir atau 416 butir per liter (Khaerudin, 1994).
Menurut Khaerudin (1994), kayu jati termasuk kelas kuat I dan kelas awet II dengan berat jenis rata-rata 0,70 sehingga cocok untuk berbagai keperluan pertukangan. Pemanfaatan kayu jati pada insdustri kayu lapis digunakan sebagai vinir muka karena memiliki serat gambar yang indah. Tetapi karena sifatnya yang mudah pecah kayu ini kurang cocok untuk digunakan sebagai bahan yang memerlukan kekenyalan tinggi seperti alat olah raga dan peti pengepak (Atmosuseno, 1995). Daun jati dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan, bahan pewarna tikar atau masakan (Sugiarto, 1996).
Pada waktu muda jati mempunyai akar tunggal yang tumbuh cepat dan dalam dengan akar-akar permukaan yang banyak. Tetapi akar tunggal ini segera bercabang sehingga merupakan berkas-berkas akar yang mendalam (Anonim, 1976). Bunga berbentuk corong berwarna putih atau agak merah muda. Buah bulat atau berujung runcing dengan empat ruang berisi biji (Sugiarto, 1996).
2. Keadaan Ekologi
Tectona grandis L.F tumbuhnya paling baik di daerah-daerah rendah dan panas di pulau Jawa teutama pada tanah-tanah rendah dan berbukit-bukit, sifatnya agak kurus, dan kurang air, yang terdiri dari formasi tua kapur dan mengalit. Pula terdapat pada tanah-tanah vulkanis muda (Anonim, 1976).
Selain itu tanaman ini juga tumbuh di daerah yang memiliki musim kering yang nyata (3-5 bulan kering), curah hujan rata-rata 1.250 – 2.500 mm/tahun dengan ketinggian kurang dari 700 m dpl dan temperatur rata-rata 22-26oC (Khaerudin, 1994).
3. Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif dengan Stek
Sebagai salah satu perbanyakan tanaman secara Vegetatif, stek menjadi alternatif yang banyak dipilih orang karena caranya sederhana, tidak memerlukan teknik yang rumit sehingga dapat dilakukan oleh siapa saja. Wudianto (1988) mendefinisikan stek sebagai suatu perlakuan pemisahan, pemotongan beberapa bagian tanaman (akar, batang, daun dan tunas) dengan tujuan agar bagian-bagian itu membentuk akar. Dengan dasar itu maka muncullah istilah stek akar, stek batang, stek daun, dan sebagainya. Definisi lain dari stek adalah salah satu cara pembiakan tanaman tanpa melalui proses penyerbukan (generatif) tetapi dengan jalan pemotongan batang, cabang, akar muda, pucuk, atau daun dan menumbuhkannya dalam media padat atau cair sebelum dilakukan penyapihan (Anonim, 1995).
Tanaman yang dihasilkan dari stek biasanya mempunyai sifat persamaan dalam umur, ukuran tinggi, ketahanan terhadap penyakit dan sifat-sifat lainnya. Selain itu kita juga memperoleh tanaman yang sempurna yaitu tanaman yang mempunyai akar, batang, dan daun yang relatif singkat (Wudianto, 1988). Stek batang adalah tipe stek yang paling umum dipakai dalam bidang kehutanan. Stek batang didefinisikan sebagai pembiakkan tanaman dengan menggunakan bagian batang yang dipisahkan dari induknya, sehingga menghasilkan tanaman yang sempurna. Menurut Yasman dan Smits (1988), stek
batang ini sebaiknya diambil dari bagian tanaman ortotrof sehingga diharapkan dapat membentuk suatu batang yang pokok dan lurus keatas.
Keuntungan dari stek batang adalah pembiakkan ini lebih efisien jika dibandingkan dengan cara lain karena cepat tumbuh dan penyediaan bibit dapat dilakukan dalam jumlah yang besar. Sedangkan kesulitan yang dihadapi adalah selang waktu penyimpanan relatif pendek antara pengambilan dan penanaman (Wudianto, 1988).
Dengan demikian sumber bahan vegetatif haruslah dicari atau dipilih pohon-pohon unggul dengan produksi tinggi, tahan hama dan penyakit serta mudah penanamannya, sedangkan yang berkaitan dengan persiapan bahan stek, Yasman dan Smits (1988) menerangkan pemotongan bagian pangkal stek sebaiknya 1 cm dibawah buku (node) karena sifat anatomis dan penimbunan karbohidrat yang banyak pada buku tersebut adalah lebih baik untuk perakaran stek.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Stek
Terbentuknya akar pada stek merupakan indikasi keberhasilan dari stek. Adapun hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan stek adalah faktor lingkungan dan faktor dari dalam tanaman.
4.1.Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan stek yaitu: media perakaran, suhu, kelembaban, dan cahaya (Hartman, 1983).
Media perakaran berfungsi sebagai pendukung stek selama pembentukan akar, memberi kelembaban pada stek, dan memudahkan penetrasi udara pada pangkal stek. Media perakaran yang baik menurut Hartman (1983) adalah yang dapat memberikan aerasi dan kelembaban yang cukup, berdrainase baik, serta bebas dari patogen yang dapat merusak stek. Media perakaran stek yang biasa dipergunakan adalah tanah, pasir, campuran gambut dan pasir, perlite dan Vermikulit. Suhu perakaran optimal untuk perakaran stek berkisar antara 21oC sampai 27oC pada pagi dan siang hari dan 15oC pada malam hari. Suhu yang terlampau tinggi dapat mendorong perkembangan tunas melampaui perkembangan perakaran dan meningkatkan laju transpirasi (Hartman, 1983).
4.2.Faktor Dari Dalam Tanaman
Kondisi fisiologis tanamn mempengaruhi penyetekan adalah umur bahan stek, jenis tanaman, adanya tunas dan daun muda pada stek, persediaan bahan makanan, dan zat pengatur tumbuh (Kramer dan Kozlowzky, 1960)
a. Umur Bahan Stek
Menurut Hartman (1983), stek yang berasal dari tanaman muda akan lebih mudah berakar dari pada yang berasal dari tanaman tua, hal ini disebabkan apabila umur tanaman semakin tua maka terjadi peningkatan produksi zat-zat penghambat perakaran dan penurunan senyawa fenolik yang berperan sebagai auksin kofaktor yang mendukung inisiasi akar pada stek.
b. Jenis Tanaman
Tidak semua jenis tanaman dapat dibiakkan dengan stek. Keberhasilan dengan cara stek bergantung pada kesanggupan jenis tersebut untuk berakar. Ada jenis yang mudah berakar dan ada yang sulit. Kandungan lignin yang tinggi dan kehadiran cincin sklerenkim yang kontinyu merupakan penghambat anatomi pada jenis-jenis sulit berakar, dengan cara menghalangi tempat munculnya adventif (Kramer, 1960).
c. Adanya Tunas dan Daun Pada Stek
Adanya tunas dan daun pada stek berperan penting bagi perakaran. Bila seluruh tunas dihilangkan maka pembentukan akar tidak terjadi sebab tunas berfungsi sebagai auksin. Selain itu, tunas menghasilkan suatu zat berupa auksin yang berperan dalam mendorong pembentukan akar yang dinamakan Rhizokalin (Boulenne dan Went, 1933 dalam Hartman, 1983).
d. Persediaan Bahan Makanan
Menurut Haber (1957) persediaan bahan makanan sering dinyatakan dengan perbandingan antara persediaan karbohidrat dan nitrogen (C/N ratio). Ratio C/N yang tinggi sangat diperlukan untuk pembentukan akar stek yang diambil dari tanaman dengan C/N ratio yang tinggi akan berakar lebih cepat dan banyak dari pada tanaman dengan C/N ratio rendah.
e. Zat pengatur Tumbuh
Menurut Heddy (1991) hormon berasal dari bahasa Yunani yang artinya menggiatkan. Hormon pada tanaman menurut batasan adalah zat yang hanya dihasilkan oleh tanaman itu sendiri yang disebut fitohormon dan zat kimia sintetik yang dibuat oleh ahli kimia (Kusumo, 1984). Hormon tanaman (fitohormon) adalah “regulators” yang dihasilkan oleh tanaman sendiri dan pada kadar rendah mengatur proses fisiologis tanaman. Hormon biasanya mengalir di dalam tanaman dari tempat dihasilkannya ke tempat keaktifannya (Kusumo, 1984). Salah satu hormon tumbuh yang tidak lepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah auksin. Thimann (1973) dalam Kusumo (1984) berpendapat bahwa hubungan antara pertumbuhan dan kadar auksin adalah sama pada akar, batang dan tunas yaitu auksin merangsang pertumbuhan pada kadar rendah, sebaliknya menghambat pertumbuhan pada kadar tinggi. Kadar optimum hormon untuk pertumbuhan akar jauh lebih rendah kira-kira 1.100.000 dari kadar optimum untuk pertumbuhan batang (Kusumo, 1984).
Zat pengatur tumbuh Rootone-F termasuk dalam kelompok auksin. Secara teknis Rootone-F sangat aktif mempercepat dan memperbanyak keluarnya akar sehingga penyerapan air dan unsur hara tanaman akan banyak dan dapat mengimbangi penguapan air pada bagian tanaman yang berada di atas tanah dan secara ekonomis penggunaan Rootone-F dapat menghemat tenaga, waktu, dan biaya (Soemarno, 1987 dalam Puttileihalat, 2001). Cara pemberian hormon pada stek batang dapat dilakukan dengan cara pemberian dengan perendaman, pencelupan dan tepung. Untuk metode perendaman, konsentrasi zat pengatur tumbuh bervariasi antara 20 ppm sampai 200 ppm tergantung kemampuan jenis tersebut berakar (Hartman, 1983). Dalam mengaplikasikan hormon perlu diperhatikan ketepatan dosis, karena jikalau dosis terlampau tinggi bukannya memacu pertumbuhan tanaman tetapi malah menghambat pertumbuhan tanaman dan menyebabkan keracunan pada seluruh jaringan tanaman (Anonim, 1987).
No comments:
Post a Comment