Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) menghasilkan umbi sebagai komoditas sayuran yang diprioritaskan untuk dikembangkan dan berpotensi untuk dipasarkan di dalam negeri dan diekspor. Tanaman kentang merupakan salah satu tanaman penunjang program diversifikasi pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Sebagai bahan makanan, kandungan nutrisi umbi kentang dinilai cukup baik, yaitu mengandung protein berkualitas tinggi, asam amino esensial, mineral, dan elemen-elemen mikro, di samping juga merupakan sumber vitamin C (asam askorbat), beberapa vitamin B (tiamin, niasin, vitamin B6), dan mineral P, Mg, dan K (“International Potato Center”, 1984).
Perbandingan protein terhadap karbohidrat umbi kentang lebih tinggi daripada biji serealia dan umbi lainnya. Kandungan asam aminonya juga seimbang sehingga sangat baik bagi kesehatan manusia (Niederhauser, 1993). Umbi kentang tidak mengandung lemak dan kolestrol, namun mengandung karbohidrat, sodium, serat diet, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi, di samping juga vitamin B6 yang cukup tinggi dibandingkan dengan beras (Kolasa, 1993).
Tingginya kandungan karbohidrat menyebabkan umbi kentang dikenal sebagai bahan pangan yang dapat menggantikan bahan pangan penghasil karbohidrat lain seperti beras, gandum, dan jagung. Tanaman kentang juga dapat meningkatkan pendapatan petani serta produknya merupakan komoditas nonmigas dan bahan baku industri prosesing. Selain itu, umbi kentang lebih tahan lama disimpan dibandingkan dengan sayuran lainnya. Di Indonesia sampai saat ini umbi kentang yang digunakan untuk makanan olahan adalah umbi kentang kultivar Atlantic. Kultivar Atlantic mengandung beberapa keunggulan, yaitu kemudahan dalam pengolahan hasil umbi, tingkat produksi yang tinggi, dan mempunyai kualitas umbi chip and fried walaupun juga mengandung kelemahan, yaitu tidak tahan terhadap penyakit dan hama (Plaisted dkk., 1975). Menurut Khumaida (1994) yang dikutip oleh Widyastuti (1996), kultivar Atlantic tergolong ke dalam Solanum tuberosum L. yang diseleksi di Amerika Serikat dengan karakteristika tertentu, yaitu produktivitas tinggi, kulit umbi putih kekuningan, daging umbi putih, mata umbi dangkal, bentuk umbi bulat, kadar air rendah, dan tidak mengalami perubahan setelah diproses. Produktivitas tanaman kentang di Indonesia relatif masih rendah dan tidak stabil, yaitu berkisar antara 13 sampai 17 t ha -1 (Statistical Yearbook of Indonesia, 2000). Produktivitas tanaman kentang nasional dari tahun 1998 sampai tahun 2002 berturut-turut, 15.348, 14.700, 15.400 t ha -1 , 15,600 t ha -1 , dan 14,800 t ha -1 (Statistical Yearbook of Indonesia, 2002). Hasil rata-rata itu masih jauh lebih rendah daripada hasil rata-rata negara maju seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, dan negara-negara Oseania yang mencapai 25 t ha -1 . Hasil kentang maksimum di Australia dan California, Amerika serikat, lebih dari 50 t ha -1 dengan umur panen 120 hari dan kultivar yang ditanam adalah Delaware, Kennebec, dan Atlantic. Hasil kentang di daerah beriklim sedang dapat mencapai 3 30 sampai 40 t ha -1 (Ridwan, 1980; Rukmana, 1997). Hasil budidaya secara intensif atau pada skala penelitian bisa mencapai 21 sampai 30 t ha -1 (Rukmana, 1997).
Rendahnya hasil yang dicapai disebabkan oleh kebijakan program intensifikasi yang secara langsung atau tidak langsung memberikan dampak yang serius terhadap lingkungan, antara lain meningkatnya degradasi lahan in situ akibat erosi sehingga terjadi pencucian dan pengurasan hara, meningkatnya polusi lahan ex situ oleh limbah pupuk dan pestisida, dan meningkatnya serangan hama dan penyakit. Hal itu sejalan dengan tulisan Harwood (1991) yang dikutip oleh Swift dan Woomer (1993) bahwa revolusi hijau telah menurunkan kualitas sumberdaya lahan akibat pemakaian pupuk dan pestisida serta pengolahan lahan secara mekanis.
Penggunaan pupuk kimia berkadar hara tinggi seperti Urea, ZA, TSP atau SP-36, dan KCl tidak selamanya menguntungkan karena dapat menyebabkan lingkungan menjadi tercemar jika tidak menggunakan aturan yang semestinya. Pemupukan dengan pupuk kimia hanya mampu menambah unsur hara tanah tanpa memperbaiki sifat fisika dan biologi tanah, bahkan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap tanah. Dekkers dan van der Werff (2001) menambahkan bahwa penggunaan pupuk sintetis yang tinggi pada tanah akan mendorong hilangnya hara, polusi lingkungan, dan rusaknya kondisi alam. Dengan penerapan bioteknologi, sumberdaya alam diharapkan akan tetap terpelihara. Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran dan upaya diarahkan pada perubahan dari sistem pertanian yang berdampak negatif terhadap lingkungan yang harus dihindarkan ke sistem pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan Alternatif untuk mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah serta menghindarkan dampak yang merugikan dari penggunaan zat kimia adalah pemberian pupuk organik kotoran ternak dan pupuk organik lainnya hasil fermentasi yang dikenal dengan porasi dan pemberian inokulan bakteri Azospirillum sp. yang selain dapat memperbaiki struktur tanah dan potensinya sebagai penyimpan dan penyedia hara utama di dalam tanah, antara lain N, P, dan K, serta unsur mikro bagi tanaman, juga dapat berperan dalam pengamanan lahan, di samping pemberian pupuk N.
Pemanfaatan bahan organik sangat penting dalam memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi tanah (Buckman dan Brady, 1990; dan Sanchez, 1992). Ditambahkan oleh Roechan dkk. (1997) bahwa selain mampu memperbaiki sifat fisika dan biologi tanah, bahan organik juga berperan sebagai penyumbang unsur hara serta meningkatkan efisiensi pemupukan dan serapan hara oleh tanaman. Penggunaan pupuk organik, baik jenis maupun takarannya, telah banyak diteliti, tetapi akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan pupuk organik kotoran ternak dan pupuk organik lainnya hasil fermentasi yang dikenal dengan nama porasi dan efeknya belum banyak diteliti. Pupuk organik kotoran ternak difermentasi (porasi) diberi inokulan kultur mikroorganisme tertentu yang diproduksi oleh sebuah perusahaan. Dalam kultur mikroorganisme komersial itu terdapat bakteri yang dapat mempercepat fermentasi bahan organik, bakteri pelarut P, dan bakteri pemfiksasi N. Dengan demikian, mikroba yang terdapat dalam kultur mikroorganisme itu mampu memfermentasi bahan organik dalam waktu cepat dan menghasilkan senyawa organik seperti protein, gula, asam laktat, asam amino, alkohol, dan vitamin dimana dalam waktu yang sangat cepat berubah menjadi senyawa anorganik yang mudah tersedia bagi tanaman. Selanjutnya dinyatakan bahwa pemberian porasi bermanfaat bagi tanaman dalam menyediakan unsur N, P, K, dan sulfur, memperbesar KTK tanah, dan meningkatkan kelarutan P tanah, suatu unsur yang termasuk hara esensial bagi tanaman (Priyadi, 1999).
Menurut Elkan (1988), pupuk N telah diproduksi hampir 60 juta ton per tahun, akan tetapi fiksasi N secara biologis pada berbagai lingkungan, termasuk laut, diperkirakan jauh lebih besar, yaitu sekitar 175 juta ton. Besarnya fiksasi N tersebut diimbangi dengan besarnya konsumsi karbohidrat oleh fiksasi N secara biologis yang diperkirakan satu sampai dua juta ton per tahun. Artinya, fiksasi N secara biologis sangat berpeluang dimanfaatkan dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk N.
Nitrogen hayati hasil kegiatan bakteri Rhizobium sp. dalam budidaya tanaman kacang-kacangan telah banyak diteliti, namun informasi tentang jenis bakteri fiksasi N pada tanaman sayuran, khususnya kentang, masih sangat terbatas. Genus Azospirillum sp. merupakan salah satu bakteri yang dapat memfiksasi N yang hidup bebas di alam dan ditemukan berasosiasi dengan tanaman pertanian penting seperti jagung, gandum, padi, dan rumput-rumputan. Katupitiya dan Vlassak (1990) menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil percobaan inokulasi di lapangan dengan Azospirillum sp. dari seluruh dunia yang dikumpulkan selama 20 tahun, bakteri Azospirillum sp. mampu memacu peningkatan hasil pertanian penting pada kondisi tanah dan iklim yang berbeda dan secara statistik nyata meningkatkan hasil 30 sampai 50 %. Kemampuan fiksasi N oleh bakteri yang hidup di sekitar akar tanaman akan berkurang jika N dalam tanah tinggi. Hasil penelitian pada tanaman sorgum di lapangan menunjukkan bahwa dengan pemberian pupuk N dosis tinggi, yaitu 200 kg ha -1 N, ternyata aktivitas bakteri yang mengandung enzim nitrogenase sama sekali dihambat.
Kemampuan setiap isolat Azospirillum sp. dalam penambatan N2 berbeda-beda. Hasil penelitian Djazuli dkk. (1992) menunjukkan bahwa pemberian pupuk N hayati Azospirillum sp., baik berupa isolat 102 maupun isolat 201, mampu menaikkan bobot umbi dengan nyata pada ubi jalar klon lokal Jitok, namun tidak nyata pengaruhnya pada ubi jalar klon BIS 183 dan BIS 182-21. Hara N yang berasal dari Urea dan ZA merupakan hara makro utama bagi tanaman selain P dan K dan seringkali menjadi faktor pembatas dalam produksi tanaman. Menurut Gardner dkk. (1991), defisiensi N membatasi pembesaran sel dan pembelahan sel. N berperan sebagai bahan penyusun klorofil dan asam amino, pembentuk protein, esensial bagi aktivasi karbohidrat, dan komponen enzim, serta menstimulasi perkembangan dan aktivitas akar serta meningkatkan penyerapan unsur-unsur hara yang lain (Olson dan Kurtz, 1982). Perkembangan hasil-hasil percobaan pemupukan pada tanaman kentang, mengungkapkan bahwa tanaman kentang memberikan tanggapan yang berbeda-beda terhadap cara-cara pengelolaan pupuk buatan, baik yang menyangkut macam pupuk maupun dosis dan proporsi pemakaian pupuk yang diberikan. Tanaman kentang memerlukan banyak N karena dapat memacu perpanjangan sel dan pertumbuhan vegetatif, memperbesar jumlah umbi, dan memperlambat saat inisiasi (Krauss dan Marschner, 1982) serta meningkatkan hasil dan kandungan protein umbi (Dubetz dan Bole, 1975). Berdasarkan hasil penelitian, Duaja (1995) mengemukakan bahwa untuk memperoleh hasil umbi kentang yang tinggi, diperlukan pupuk N antara 100 sampai 200 kg ha -1 . Salah satu masalah utama dalam penggunaan pupuk N adalah pemberian pupuk N yang berbeda sumber memberikan efek yang berbeda terhadap sifat fisika dan kimia tanah yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman kentang. Ditinjau dari segi efisiensi pemupukan N, ternyata kombinasi penggunaan Urea dan ZA masing-masing setengah dosis total N adalah terbaik dilihat dari produksi, mutu hasil umbi, dan serapan hara tanaman kentang pada tanah Andisols atau semacamnya (Suwandi dan Asandhi, 1986). Luas Andisols di Indonesia diperkirakan 5.395.000 ha atau diperkirakan 2,9 % dari luas daratan yang terdapat di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok dan Sulawesi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (2000). Andisols merupakan tanah yang subur dengan sifat fisik dan kimianya yang sesuai dengan kondisi tanah yang diperlukan oleh tanaman pertanian, yaitu gembur, ringan dan berpori, berwarna gelap, bertekstur sedang (lempung, lempung berdebu, dan lempung liat berdebu) terdapat di pegunungan dengan bercurah hujan sedang sampai tinggi. Namun dengan penggunaan lahan yang terus menerus tanpa diimbangai dengan input produksi yang memadai dan pengelolaan yang tidak tepat akan menyebabkan produktivitas lahan menurun. Menurut Inoue (1986) Andisols merupakan tanah yang sangat penting, tetapi juga merupakan tanah yang bermasalah dalam bidang pertanian dan kehutanan akibat rendahnya produktivitas tanah yang disebabkan oleh sifat-sifat kimia yang khas seperti retensi P yang tinggi, pencucian unsur basa dari tanah, dan sifat fisika yang khas, oleh karena itu untuk mempertahankan kesuburan Andisols dalam hal ini perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah tersebut agar produkivitas lahan meningkat sehingga diharapkan hasil tanaman kentang meningkat, yaitu melalui pemberian pupuk organik difermentasi (porasi), dan pemberian inokulan Azospirillum sp. serta pemberian pupuk N yang sekaligus dilakukan di dua lokasi (Pangalengan dan Cisarua).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa porasi hasil fermentasi bahan organik kotoran ayam dapat digunakan sebagai pupuk organik dan menyuburkan tanah serta meningkatkan pertumbuhan tanaman baik yang ditanam di Pangalengan maupun di Cisarua karena inokulan mikroorganisme yang diberikan pada bahan organik mengandung mikroba, yaitu Lactobacillus sp., bakteri pelarut P, ragi (khamir), dan Azospirillum sp. Penambahan Azospirillum sp. ke dalam tanah akan lebih meningkatkan lagi jumlah populasi mikroba, terutama Azospirillum sp. di dalam tanah. Azospirillum sp. merupakan bakteri yang dapat memfiksasi N di udara yang bersifat nonsimbiotik. Nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan hasil tanaman kentang perlu ditambahkan dengan pemupukan N yang demi efisiensi lebih baik digunakan kombinasi jenis pupuk N karena kemampuan fiksasi N oleh bakteri tergantung pada ketersediaan N di dalam tanah yang ditanam di dua lokasi (Pangalengan dan Cisarua).
No comments:
Post a Comment